Oleh: Tu Hermano
Ada banyak cara menikmati Jepang, tapi salah satu yang paling berkesan adalah naik kereta wisata di Kyushu. Ini bukan sekadar berpindah kota, melainkan perjalanan yang penuh detail—menyusuri lanskap, menatap pemandangan, dan membiarkan diri larut dalam dunia kecil di dalam kabin.
Inilah kisah tiga hari saya bersama tiga kereta D&S (Design & Story Trains) JR Kyushu: A-Train, Yufuin no Mori, dan Aso Boy!—masing-masing punya karakter sendiri, seolah punya jiwa dan suara berbeda.
Hari Pertama: A-Train ke Misumi – Persinggahan Singkat yang Berkesan
Perjalanan dimulai dari Kumamoto Station, pagi yang cerah dengan sedikit kabut tipis. Di peron, berdiri gagah A-Train, berwarna emas-hitam dengan desain klasik. Tulisan “Take the A-Train” menghiasi sisinya, mengingatkan saya pada lagu jazz legendaris. Saya sempat tersenyum sambil menunjuk logo melingkar di jendela—simbol bahwa ini bukan kereta biasa.
Kereta melaju perlahan. Interiornya penuh sentuhan kayu, pencahayaan hangat, dan iringan musik jazz yang membuat saya merasa seperti berada di lounge klasik yang bergerak di atas rel.
Di tengah perjalanan, kami berhenti sebentar di Stasiun Oda, stasiun kecil yang manis. Hanya beberapa menit, tapi cukup untuk turun dan berfoto. Di luar, udara laut terasa, langit biru menambah suasana sempurna.
Tujuan akhir A-Train adalah Stasiun Misumi, titik paling barat dari rute ini. Dari sana, saya melanjutkan perjalanan dengan Amakusa Sea Cruise—menyebrang laut menuju gugusan pulau Amakusa dengan ferry klasik. Tiketnya cantik, bertuliskan “Sea Cruise – Amakusa Takarajima Line”. Saya langsung menyimpannya, karena tiket ini bukan sekadar bukti perjalanan, tapi artefak kecil yang akan jadi bagian dari buku memori saya.
Sore itu saya kembali ke Kumamoto untuk bermalam. Malamnya saya tidur nyenyak. Tapi saya tahu, petualangan yang lebih istimewa menunggu esok hari.
Hari Kedua: Yufuin no Mori – Gempa dan Seragam Masinis Gadis Cilik
Pagi berikutnya, saya naik Shinkansen dari Kumamoto ke Hakata, lalu menyambung Yufuin no Mori—kereta hijau zamrud yang jadi primadona pecinta lanskap dan kereta wisata.
Begitu masuk, saya langsung terpikat. Gerbongnya elegan, jendela lebar-lebar, lantai kayu mengkilap, kursi empuk berlapis kain cokelat dan hijau tua. Semua penumpang tampak tenang, menikmati pemandangan bukit dan sawah yang terbentang.
Di antara rak brosur, saya menemukan kartu pos eksklusif dan stempel stasiun—tradisi tak tertulis di Jepang. Saya segera mengeluarkan buku saku untuk menempelkan cap itu. Rasanya seperti ritual kecil yang mengikat kita pada perjalanan.
Perjalanan Hakata–Yufuin memakan waktu sekitar dua jam lebih, tapi suasananya bikin lupa waktu. Saya mengambil banyak foto, termasuk selfie di peron bersama si hijau legendaris ini. Di tengah perjalanan, pramugari memberikan seragam masinis mini untuk dua gadis kecil. Mereka tampak riang berpose di dalam gerbong—momen manis yang membuat seluruh kabin ikut tersenyum.
Namun, sore itu ada kejutan: gempa bumi kecil mengguncang Yufuin. Getarannya tak besar, tapi cukup membuat kereta berhenti sejenak. Ada peringatan di gadget, suasana mendadak hening. Tak ada kepanikan, hanya diam yang terasa dalam. Pegunungan menyelimuti dengan udara sejuk, langit mendung menambah dramatis. Beberapa menit kemudian, kereta berjalan lagi. Jepang memang terbiasa dengan hal ini, tapi bagi saya, itu pengalaman tak terlupakan.
Pagi di Yufuin – Senyum dan Langit Cerah
Keesokan paginya, Yufuin kembali cerah. Kebetulan hotel kami tepat di depan Stasiun Yufuin, jadi cukup keluar sebentar untuk mengabadikan suasana: pejalan kaki yang santai, toko-toko kecil mulai buka, dan kereta berikutnya menunggu. Siang itu, saya kembali naik Yufuin no Mori menuju Beppu.
Hari Ketiga: Beppu, Patung Ikonik, dan Aso Boy!
Dari Yufuin, saya menuju Beppu, kota onsen yang terkenal seantero Kyushu. Di depan stasiun berdiri patung pria tua mengangkat tangan sambil tersenyum lebar—Jigoku Mushi Oyaji, atau Hell-Steamed Old Man. Patung ini seperti ikon keramahan Beppu, dan tentu jadi titik foto wajib. Saya ikut berpose di bawahnya. Karena perjalanan ini memang tentang simbol-simbol kecil yang menyenangkan.
Dari Beppu, saya melanjutkan dengan Aso Boy!, si hitam-putih bertema Kuro, anjing lucu maskot daerah Aso. Interiornya seperti dunia anak-anak: kursi mini, ruang baca, area bermain, bahkan kursi unik menghadap panorama jendela. Saya berkeliling, mengumpulkan kartu pos Aso Boy!, dan tentu saja memotret boneka Kuro yang muncul dari sandaran kursi.
Di dalam, suasananya ceria. Anak-anak tertawa, orang tua santai, staf ramah menjelaskan setiap sudut kereta. Aso Boy! bukan sekadar kereta—ini playground bergerak.
Aso – Kumamoto – Hakata: Penutup yang Tenang
Tiba di Aso, udara pegunungan menyapa. Hijau menghampar, aroma hutan tercium di stasiun kecil itu. Setelah sejenak menikmati suasana, saya naik kereta lokal ke Kumamoto, lalu Shinkansen ke Hakata untuk bermalam di Fukuoka. Rasanya seperti kembali dari mimpi ke realitas urban. Tapi saya pulang dengan hati penuh cerita.
Refleksi: Ketika Kereta Jadi Ruang Emosional
Naik tiga kereta wisata ini mengingatkan saya bahwa perjalanan bukan soal jarak, tapi soal makna di tiap pemberhentian. Ada jazz di A-Train, ada gempa dan tawa anak-anak di Yufuin no Mori, ada boneka Kuro dan kursi unik di Aso Boy!. Ada kartu pos, stempel, dan patung lucu di Beppu.
Semua itu serpihan kecil yang, bila disusun, jadi mozaik kenangan. Kyushu mungkin pulau tenang di selatan Jepang, tapi rel-rel di sana menyimpan banyak kisah. Saya tidak cuma naik kereta. Saya menyusuri cerita.
Dan mungkin, seperti kata orang Jepang:
旅は人生の縮図 – Tabi wa jinsei no shukuzu – “Perjalanan adalah miniatur kehidupan.”
Catatan Akhir
- JR Kyushu punya banyak Design & Story Trains (D&S). Tiga yang saya naiki ini termasuk yang terbaik.
- Semua kereta bisa dinaiki dengan JR Kyushu Rail Pass (5-Day atau 7-Day) untuk turis asing. Pastikan cek jadwal, karena tidak semua beroperasi setiap hari.
- Jangan lupa bawa buku catatan atau folder khusus untuk stempel dan kartu pos. Ini bagian dari budaya perjalanan Jepang yang indah dan personal.
Jika suatu hari kamu naik kereta yang sama, duduklah dekat jendela, lihat keluar, dan biarkan kisahmu sendiri berjalan. Karena rel ini bukan hanya menghubungkan kota-kota—tapi juga hati, kenangan, dan mimpi.